" Maka apabila kita mencintai anak-anak kita, maka didik mereka di jalan Allah, ini menunjukkan bahwa kita mencintai anak-anak kita, bahkan tali iman yang kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, maka kalau kita benar-benar mencintai Allah maka kita siap untuk mengorbankan apapun demi Allah.
Dan kita ketahui walaupun syaithon ini orang yang alim, arif dan abid, tetapi semua itu bukan karena Allah SWT, tetapi karena hawa nafsunya sehingga itulah yang dia ibadahi.
Jadi hak Allah yang wajib untuk kita tunaikan dan wajib untuk kita kerjakan adalah bahwa Allah satu-satunya yang kita cintai dan yang kita harapkan.
Seringkali orangtua baru bertindak
ketika kesalahan telah dilakukan oleh anak. Bukan mencegah, mengarahkan,
membimbing sebelum kesalahan terjadi. Seharusnya orangtua mempertimbangkan
tingkat perkembangan kejiwaan anak, sebelum membuat aturan. Jangan menyamakan
anak dengan orang dewasa. Orangtua hendaknya menyadari bahwa dunia anak jauh
berbeda dengan orang dewasa. Jadi, ketika menetapkan apakah perilaku anak
dinilai salah atau benar, patuh atau melanggar, jangan pernah menggunakan tolok
ukur orang dewasa. Harus diakui, orangtua yang habis kesabarannya sering
membentak dengan kata-kata yang keras bila anak-anak menumpahkan susu di
lantai, terlambat mandi, mengotori dinding dengan kaki, atau membanting pintu.
Sikap orangtua tersebut seperti polisi menghadapi penjahat. Sebaliknya,
orangtua sering lupa untuk memberikan perhatian positif ketika anak mandi tepat
waktu, menghabiskan susu dan makanannya, serta membereskan mainannya. Padahal
seharusnya, antara perhatian positif dan negatif harus seimbang.
“Fatma… jangan dekati kompor itu! Bahaya,
tahu!” Bentak ayah Fatma yang memergoki
putrinya sedang mengutak-atik kompor minyak.
Ketika bocah kecil itu menangis
mendengar bentakan ayahnya, sang ayah malah kembali membentak, “Heh… diam!” Si
kecil pun semakin ketakutan.
Membentak anak, sepertinya sudah
menjadi kebiasaan orangtua. Saat melihat anak melakukan kesalahan atau
ketidakpatuhan, orangtua memang sering dibuat jengkel. Secara refleks, karena
emosi, orangtua sering bermaksud ‘menasihati’, tapi diucapkan dengan nada
tinggi.
Kebiasaan ini juga sering dilakukan
oleh orangtua yang temperamental. Pertanyaannya, efektifkah menasihati anak
dengan bentakan? Tentu tidak, sebab kalau anak terlalu sering dibentak, maka ia
bisa tumbuh menjadi pribadi yang minder, tertutup, bahkan pemberontak. Ia pun
bisa menjadi temperamental dan meniru kebiasaan orangtuanya, suka membentak.
Anak-anak yang sering diberi
perhatian negatif apalagi dengan teguran keras atau bentakan, akan mudah
tertekan jiwanya. Kemungkinan ia bisa berkembang menjadi anak yang:
Minder, Bila anak selalu dicela dan
dibentak, dan tak pernah menerima perhatian positif saat ia melakukan kebaikan,
maka ia akan tumbuh menjadi priibadi yang tidak percaya diri (pede) atau
minder. Akan tertanam dalam jiwanya bahwa ia hanyalah anak yang selalu melakukan
kesalahan, tidak pernah bisa berbuat kebaikan atau menyenangkan orang lain.
Akibatnya, ia sering ragu-ragu atau tidak pede untuk melakukan atau mencoba
sesuatu karena takut salah. Misalnya, ia jadi tidak pede untuk mengaji atau
membaca Alquran, gara-gara orangtuanya selalu membentaknya bila mendengar
bacaannya salah.
Cuek/tidak peduli,Anak yang selalu dibentak juga bisa
menjadi berkembang menjadi anak yang cuek dan tidak peduli. Akibat sudah
terlalu sering menerima bentakan, ia malah jadi apatis, tidak peduli. Ia pun
sering mengabaikan nasihat orangtuanya. Mungkin saat dimarahi atau dibentak ia
terlihat diam dan mendengarkan, tetapi sesungguhnya kata-kata orangtuanya hanya
dianggap angin lalu saja. Masuk ke telinga kanan lalu keluar lewat telinga
kiri.
Tertutup,Orangtua yang temperamental dan suka membentak, tentu akan menakutkan bagi anak. Ya, anak menjadi takut pada orangtuanya sendiri, sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang tertutup. Ia tidak pernah mau berbagi cerita dengan orangtuanya. Buat apa berbagi kalau nanti ujung-ujungnya ia disalahkan? Dengan demikian, komunikasi antara orangtua dan anak tidak bisa berjalan lancar. Hal ini tentu berbahaya, karena bila menghadapi masalah dan hanya disimpan sendiri, jiwa anak bisa sangat tertekan.
Pemberontak/penentang, Anak yang bersikap menentang bisa
digolongkan dalam 3 tipe. :
Pertama, tipe penentang aktif. Mereka menjadi anak
yang keras kepala, suka membantah dan membangkang apa saja kehendak orangtua.
Mereka marah karena merasa tidak dihargai oleh orangtua. Untuk melawan jelas
tak bisa, karena ia hanya seorang anak kecil. Maka ia pun berusaha menyakiti
hati orangtuanya. Ia akan senang bila melihat orangtuanya jengkel dan marah
karena ulahnya. Semakin bertambah emosi orangtuanya, semakin senanglah ia.
Kedua, tipe penentang dengan cara halus. Anak-anak ini jika diperintah memilih
sikap diam, tapi tidak juga menuruti perintah. Sebagaimana Abid yang disuruh
mandi oleh ibunya, tapi tak juga mau beranjak dari tempatnya bermain. Saat ia
ditinggalkan sendiri di kamar mandi pun, ia tidak segera mandi, malah bermain
air atau kapal-kapalan.
Ketiga, tipe selalu terlambat. Anak seperti ini baru
mengerjakan suatu perintah setelah terlebih dahulu melihat orangtuanya jengkel,
marah, dan mengomel atau membentak-bentak karena kemalasannya. Misalnya Adi
yang belum mau beranjak dari tempat tidurnya bila belum dibentak atau diomeli
ibunya.
Pemarah, temperamental dan suka membentak
Anak sering meniru sikap
orangtuanya. Bila orangtua suka marah atau ‘main bentak’ karena sebab-sebab
sepele, maka anak pun bisa berbuat hal yang sama. Jangan heran bila anak yang
diperlakukan demikian, akan berlaku seperti itu terhadap adiknya atau
teman-temannya, termasuk anaknya
nauzubillahhimindzalikk.. smg anak-anakku tidak tergolong seperti itu...
dipostkan oleh.. Heny Sophiaty
08092015
blogger WAROENG BLOG INak Icak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar