Minggu, 08 November 2015

KEDUDUKAN SUAMI DALAM RUMAH TANGGA

suami dalam rumah tangga adalah pemimpin, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Ta’ala: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” (QS. 4:34), maksudnya adalah sebagai pemimpin terhadap istri dan keluarganya dalam pengajaran, pengaturan, penjagaan, pemeliharaan dan yang memegang kendali keluarga. Di pundaknya tanggung jawab memberikan nafkah kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sementara, istri bertanggungjawab dalam melayani suami dan menjaga kehormatan dirinya serta harta suaminya.
Ummi turut prihatin atas keluarga Nanda, dengan kondisi penghasilan suami yang sangat minim. Nanda harus tabah dan tetap dalam kesabaran serta senantiasa berdoa kepada Allah untuk mendapatkan jalan keluar. Dalam kondisi bagaimanapun, sebagai seorang istri Nanda berkewajiban menaati dan melayani suami, sebagaimana dalam hadits Nabi saw, “Seandainya aku diperintahkan agar seseorang menyembah orang lain, maka niscaya aku akan memerintahkan seorang istri untuk menyembah suaminya. Maka ketika ada permintaan dari suami, istri wajib memenuhinya kecuali dalam udzur yang dibenarkan dalam syariat atau ada penjelasan lain yang dapat diterima suami. Karena dalam sebuah hadits Nabi saw, “Jika suami mengajak istrinya ke tempat tidur, kemudian dia tidak mau menemui suaminya maka malaikat akan melaknatnya hingga pagi hari.
Masalah suami yang tidak mampu memberikan nafkah, maka itu adalah tanggung jawab suami dan istri dapat menuntut hak-haknya. Allah Ta’ala berfirman, “.. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” (QS. 2:233). Dan hadits Nabi saw, “Kewajiban kalian (suami) atas mereka (istri) memberikan makanan dan pakaian dengan baik.Jika nafkah ini tidak dapat dipenuhi oleh suami maka dapat dihitung sebagai hutang suami terhadap istri, dan istri pun dapat menuntutnya dengan mengajukan gugatan ke pengadilan agama. Hal ini dapat berakibat kepada perceraian yang disebut dengan tafriq qadha’i. Karena suami telah mengikrarkan pada saat akad nikah dengan membaca shighat ta’liq, jika suami menelantarkan istri dengan tidak memberikan nafkah maka pengadilan berhak memerkarakannya sesuai pengaduan istri.
Namun Nanda, carilah solusi terbaik dalam memecahkan masalah perekonomian keluarga, dengan membantu suami agar dapat memberikan nafkah yang layak. Bantulah dengan mencarikan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya, atau membantu mencarikan modal usaha untuk membangun usaha mandiri atau bermitra dengan pihak lain. Semoga ini dapat membangkitkan kembali jiwa mas’uliyyah (tanggung jawab) suami terhadap kewajiban memberikan nafkah kepada keluarga.
Ketidakmampuan untuk memberikan nafkah yang layak bagi keluarga mungkin memengaruhi mentalitas suami, sehingga menjadi minder dan tak mau bergaul, bahkan malas beribadah. Mulailah dengan berikhtiar seperti di atas, juga sertai dengan tawakal kepada Allah. Ajaklah suami untuk shalat bersama, dan mintalah untuk menjadi imam, ingatkan selalu untuk berdo’a kepada Allah Ta’ala. Mulailah dari hal yang kecil yang dilakukan bersama-sama. Setelah itu, ajaklah untuk bersilaturrahim dengan tetangga dan sanak saudara.
Nanda tidak memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada keluarga dan sanak famili Nanda, termasuk kepada mertua. Itu merupakan sedekah Nanda, dan sebaik-baiknya sedekah adalah sedekah untuk kerabat terdekat. Berapa pun pemberian Nanda itu adalah sedekah dari Nanda, maka jangan merasa itu sebagai beban Nanda. Semoga Allah memberikan kemudahan dan kelapangan bagi keluarga Nanda.
 
Idealnya sebuah keluarga berdiri dengan tanggung jawab dan peran masing-masing orang yang terlibat di dalamnya. Seorang suami bekerja menafkahi istri dan anak-anaknya; sementara istri mengurus rumah tangga. Namun dalam kenyataannya ternyata tidak semua kondisi ideal tersebut dapat tercapai. Dalam kondisi demikian tentu diperlukan kerja sama dan saling pengertian satu sama lain, agar pernikahan dapat tetap berjalan dengan melaksanakan fungsi masing-masing.
Berkaitan dengan persoalan Nanda, maka saran-saran Ummi sebagai berikut:
  1. Kemampuan suami untuk menafkahi keluarga akan menumbuhkan perasaan self efficacy (perasaan mampu, merasa kompeten) pada diri seorang laki-laki sehingga pada akhirnya timbul self worth (merasa diri berharga dan dibutuhkan oleh orang lain). Karena itu meskipun saat ini belum mendapatkan pekerjaan yang layak, Nanda harus terus mendorong suami untuk mencari rizki yang halal –meski hasilnya tidak seberapa.
  2. Utarakan harapan dan dorongan tersebut secara halus dengan nada yang bijak. Jangan ”menghukum” suami dengan menolak permintaannya, karena justru hal tersebut akan memicu timbulnya masalah lain. Jadikanlah momen-momen kedekatan Nanda bersama suami untuk mengomunikasikan keinginan, harapan dan permintaan Nanda, sehingga suami akan lebih siap mendengar secara psikologis.
  3. Ajakan untuk melaksanakan shalat, tentunya dilakukan secara bijak. Sebelum perintah-perintah Allah dilaksanakan dengan penuh kesadaran, suami diharapkan telah memiliki pemahaman yang baik mengenai aqidah dan kewajiban seorang Muslim pada pencipta-Nya. Sering-seringlah mengajak suami berdiskusi, memberikan buku-buku bacaan ringan berisikan muatan ajaran Islam, atau jika memungkinkan mengajak suami menemui keluarga-keluarga Muslim yang harmonis dan terdapat di sekitar lingkungan nanda. Dengan contoh yang bersifat konkrit seperti ini, diharapkan tekadnya akan tergerak, tanpa merasa digurui.
  4. Mengajak suami untuk aktif bergaul ke luar rumah, menjadi sesuatu yang sulit bila suami ternyata tipikal orang yang cenderung pasif dan menyukai kesendirian. Namun hal tersebut bukannya tidak bisa diubah. Cobalah buat jadwal keluar rumah bersama, misalnya satu kali sepekan untuk ikut serta dalam kegaitan bersama tetangga di lingkungan rumah. Biarkan suami memilih tetangga/teman yang sesuai dengan dirinya dan beri kebebasan pada dirinya untuk menjalin relasi. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah, bagaimana suami merasa nyaman dengan lingkungan baru tersebut. Bila lama kelamaan suami sudah menunjukkan kemajuan, Nanda dapat mulai mendorong suami untuk terjun pada lingkungan yang lebih kompleks.
  5. Pemberian Nanda kepada keluarga suami, insya Allah merupakan amal shalih. Kedudukan mertua sama dengan kedudukan orang tua, keduanya harus kita hormati dan penuhi kebutuhannya sebisa mungkin. Insya Allah dengan keringanan langkah Nanda dan perhatian yang diberikan kepada keluarga besar akan menjadi pembuka jalan bagi terselesaikannya masalah Nanda.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar